Rabu, 11 Februari 2015

PAHLAWAN BUGIS YANG TERLUPAKAN

Salah satu wanita yang sangat ideal dijadikan ikon perjuangan kaum perempuan di Indonesia adalah Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Siti Aisyah We Tenriolle adalah Datu (Ratu) dari Tanette Sulawesi Selatan. Memerintah di Kerajaan Tanette pada 1855- 1910. Dia menjabat sebagai ratu selama limapuluh lima tahun. Ayahnya bernama La Tunampareq alias To Apatorang dengan gelar Arung Ujung. Sedangkan ibunya bernama Colliq Poedjie yang bergelar Arung Pancana.


Bersama ibundanya yang intelek dan mengurusi pengarsipan dokumen-dokumen raja, Aisyah menyelami sastra-sastra Bugis kuno, terutama mahakarya dan epik terpanjang dalam dunia tulis- menulis, La Galigo. Kerajaan Tanette merupakan kerajaan Islam. Pengaruh Islam melekat sangat kuat sebagaimana di kerajaan lainnya, seperti Kerajaan Goa, Tallo, dan Bone.

Meski demikian, semasa La Rumpang menjabat menjadi Raja, beliau tidak menutup diri dari kebudayaan lain yang masuk. Di masa pemerintahannya, La Rumpang menjalin persahabatan cukup baik dengan BF Matthes dan Ida Pfeiffer. BF Matthes adalah peneliti dari Belanda yang dikirim ke Hindia Belanda dari perwakilan Nederlandsch Bijbelgenootschaap (Lembaga dari Belanda yang mengurusi masalah kitab-kitab). Lewat kedatangan Matthes pada 1853 inilah La Galigo berhasil digali kembali dan diterjemahkan.

Sedangkan Ida Pfeiffer adalah orang Austria yang melakukan perjalanan keliling dunia dan menyempatkan diri singgah di Tanette. Kecerdasan dan kecakapan Aisyah terlihat semasa dia menjadi ratu. Tidak hanya cerdas di bidang kesusastraan, tapi juga bidang pemerintahan dan bidang pendidikan. Aisyah berhasil mendirikan sekolah bagi rakyat. Sekolah tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi laki-laki, tetapi juga perempuan.

Meski kurikulumnya masih sangat sederhana, hanya membaca, menulis, dan berhitung, tapi pada masa itu tergolong sudah sangat hebat. Karena pada masa itu anak perempuan tidak bersekolah. Aisyah adalah tokoh yang pertama kali mendirikan sekolah yang menerima murid putra dan putri dalam satu kelas. Dia berhasil mewujudkan kesetaraan hak pendidikan bagi laki-laki dan perempuan jauh sebelum Kartini dilahirkan.

Aisyah menginginkan rakyatnya melek pendidikan, tidak terkecuali perempuan. Di bidang pemerintahan Aisyah menerapkan konsep Pau- Pauna Sehek Maradang (lima tuntunan Hikayat Syekh Maradang). Hikayat tersebut menyebutkan bahwa kewajiban pemimpin itu ada lima, yaitu pertama, orang yang pintar adalah orang yang memikirkan bagaimana menciptakan kesejahteraan suatu negeri. Kedua, orang kaya adalah memiliki harta benda dan mendermakan kekayaannya untuk membangun negerinya. Ketiga,orang pemberani adalah mereka yang dapat melindungi rakyatnya. Keempat, wali merupakan orang yang dimuliakan Allah. Lalu yang terakhir fakir, orang yang doanya diterima Allah. Aisyah sangat mencintai dunia sastra. Melalui kekuasaannya, dia berhasil mengumpulkan naskah-naskah tua La Galigo yang terserak di beberapa kerajaan, yaitu Goa, Tallo, dan Bone.

Dia dan ibunya mengumpulkan naskah tersebut selama duapuluh tahun. Bersama BF Matthess, peneliti asal Belanda, mereka tekun menyelamatkan naskah tersebut. Tetapi diperkirakan baru sepertiga dari naskah keseluruhan yang berhasil diselamatkan. Aisyah menerjemahkan ke dalam bahasa Bugis, lalu Mathess menerjemahkan ke bahasa Belanda dari hasil suntingan Aisyah.

Oleh Matthes terjemahan ke dalam Bahasa Belanda ini kemudian diserahkan kepada Pemerintah Kerajaan Belanda lewat Nederlandsch Bijbelgenootschaap dan diabadikan di Perpustakaan Universitas Leiden. Karya La Galigo bisa mencuat ke dunia internasional berkat jasa Siti Aisyah we Tenriolle, Colliq Poedjie, dan BF Matthes. Aisyah memiliki peran paling dominan. Karena dialah yang menguasai sastra Bugis kuno sekaligus kekuasaannya yang sangat kuat sebagai ratu.

Aisyah adalah wanita hebat, tetapi sangat disayangkan bangsa Indonesia kurang menghargai lebih khusus orang Sulawesi. Ironisnya dalam buku “Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia: 1978”, terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani), nama Aisyah sama sekali tidak pernah tersentuh. Jika Kartini hanya menuangkan ide dalam suratsurat, Aisyah We Tenriolle telah berbuat banyak untuk memajukan kaum wanita dan pria, dan meninggalkan jejak tak terhingga oleh peradaban dunia.

Kini tugas kita adalah meluruskan sejarah yang didistorsi para penjahat sejarah, mari berbuat adil terhadap para pahlawan dengan menempatkan mereka pada posisi semestinya. Di era yang terbuka dan otonomi seperti ini, selayaknya orang Sulawesi mengangkat tokoh- tokoh seperti Aisyah _untuk dijadikan suri teladan pada generasi penerus.